Rabi’ah Al Adawwiyah Pencari Tuhan, Ketika Tubuhnya Memancarkan Cahaya
Image : Pinterest
Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada Rabi’ah dan bertanya,
“Aku adalah orang yang telah banyak melakukan dosa. Maksiat yang kulakukan bertimbun melebihi gunung-gunung. Seandainya aku bertaubat, apakah Allah akan menerima taubatku?”
“Tidak,” Jawab Rabi’ah dengan suara tegas.
Di lain waktu seorang laki-laki pula datang kepadanya. Lelaki itu berkata, ” Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah banyak nya dosaku. Maksiat apa saja telah aku lakukan, dari yang kecil sampai yang besar. Namun, sekarang saya tengah menjalani taubat. Apakah Tuhan menerima taubatku?”
“Pasti,” Jawab Rabi’ah yang tidak kalah tegas.
Kemudian ia menjelaskan, “Jika Tuhan tidak berkenan menerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak untuk melakukan taubat? Untuk berhenti melakukan dosa, jangan kau gunakan kata ‘akan’ atau ‘seandainya’ sebab hal itu dapat merusak niatmu.”
Memang seringkali uacapan Rabi’ah dapat menyakiti hati seseorang yang tidak mengetahui jalan pikirannya.
Kelahiran Rabi’ah al Adawwiyah
Tokoh sufi wanita ini bernama Rabi’ah Basri atau lebih dikenal dengan Rabi’ah al Adawwiyah al Bashriyah. Lahir pada tahun 713 Masehi di Bashrah, Irak. Ia lahir di keluarga yang hina dina (rendah lagi miskin).
Sebagai anak keempat, itu sebabnya ia diberi nama Rabi’ah. Ia dilahirkan dalam keadaan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara. Meskipun waktu itu kota Bashrah adalah kota yang bergelimang harta dan memiliki banyak kekayaan.
Tidak seorangpun yang berada disamping ibunya bahkan menolongnya, ketika ayahnya yaitu Ismail tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudah tengah malam, tidak seorangpun dari tetangga mereka yang terjaga.
Dengan rasa kecewa, Ismail pulang tanpa membawa hasil. Padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Ismail pun kembali ke dalam biliknya dengan perasaan putus asa.
Tiba-tiba Ismail dikagetkan dengan apa yang terjadi. Matanya membelalak gembira menyaksikan sesuatu yang terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan istrinya tanpa bantuan siapapun.
“Ya Allah,” Seru Ismail. “Anakku Rabi’ah telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail Menggumam “Aamiin.”
Namun, cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga potong roti untuk istrinya yang masih lemah itu.
Ismail lalu bersujud dalam sholat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan. Kemudian Ismail seolah-olah bermimpi bertemu dengan gumpalan cahaya yang terang benderang yang muncul di hadapannya.
Dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih orang sholih, anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam jumat yang lalu ia tidak melakukan sholat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalainnya ia harus membayar satu dinar untu satu rakaat yang ditinggalkannya.”
Kemudian Ismail melakukan seperti apa yang diperintahkan Rasulullah tersebut. Dan ketika itu Isa Zadan, penguasa kota Bashrah tiba-tiba terlonjak kaget.
Ia memang terbiasa melakukan sholat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan setiap malam Jum’at ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, ia menyerahkan 400 dinar kepada Ismail sesuai dengan 400 rakaat yang ia tinggalkan pada malam jum’at silam.
Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabi’ah al Adawwiyah, seorang sufi dari kota Bashrah yang hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan.
Baca Juga :Â 5 Ciri Orang Yang Mencintai Allah
Perjalanan Hidup Rabi’ah al Adawwiyah
Ismail dan istrinya meninggal dunia ketika Rabi’ah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabi’ah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Bashrah.
Dalam kesendirian itu akhirnya Rabi’ah jatuh ke tangan orang yang kejam, dan lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga yang sangat murah. Tetapi, majikannya yang baru tak kalah kejam dengan majikan sebelumnya.
Setelah bebas, Rabi’ah pergi ke tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan kemudian sampailah ia di sebuah gubuk yang dekat dengan Bashrah. Ia tinggal hanya dengan perabotan yang tak layak pakai. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata adalah harta yang ia punyai.
Seluruh hidupnya ia abdikan hanya kepada Allah. Berdo’a dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus akhirat sampai ia lupa dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga.
Meskipun banyak pinangan yang datang kepadanya, termasuk dari gubernur Bashrah dan seorang ulama terkenal, Hasan al Basri. Rabi’ah tetap tidak tertarik untuk menyudahi masa lajangnya hingga akhir hayat, pada tahun 801 Masehi.
Menjadi sufi dalam perjalanan Rabi’ah adalah “berlalu dari sekedar ada, menjadi benar-benar ada”. Karena dalam cintanya kepada Allah, Rabi’ah sampai tidak menyisakan satu jengkal pun rasa cintanya untuk manusia.
Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup bersama Rabi’ah sampai terheran-heran dengan sikap Rabi’ah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabi’ah pernah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi apalagi harta.
Lewat sebuah do’a yang mirip syair Rabi’ah berujar, ” Ya Allah jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku ke dalamnya, jika aku menyembah-Mu karena ketamakan ku kepada surga-Mu maka haramkan aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaan ku kepada-Mu maka berilah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat-Mu yang Maha Mulia itu.”
Periode Perjalanan Hidup Rabi’ah
1. Periode Asketik Rabi’ah
Perjalanan hidup Rabi’ah diwarnai dengan berbagai situasi keterbatasan ; ditinggal oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, kemudian dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya yang kejam sampai kemudian dibebaskan dari perbudakan, setelah bebas Rabi’ah hidup dengan mengembara.
2. Periode Sufi
Suatu periode dimana Rabi’ah telah mencapai Mahabatullah (Cinta Kepada Allah) sampai akhir hayatnya.
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-Kiratul Auliya bahwa Rabi’ah pandai sekali meniup seruling. Pernah dikala itu Rabi’ah menopang hidupnya dengan bermain musik. Kemudian, ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berdzikir dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia juga mengunjungi masjid dari pagi sampai malam.
Namun, ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya. Maka ditinggalkanlah semua aktivitas itu.
Kesimpulan
Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabi’ah memberi kesimpulan bahwa, tokoh sufisme wanita ini adalah bentuk dari sufisme cinta.
Sejenis sufisme yang menempatkan mahabbah (cinta) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang terlarut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pada pemujaan atau pemuliaan metode sakramen.
Memahami Rabi’ah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabi’ah tampak jauh dari kita. Apa yang dilakukan Rabi’ah semasa hidupnya adalah bentuk ikhtiar membiasakan diri untuk bertemu Sang Pencipta.